Minggu, 07 Juni 2015

Epistimologi Bayani



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
         Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Karena setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-cirI yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengethauan terebut disusun.
         Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan  hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
         Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam dalam  kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Sebuah gerakan yang didasari oleh faham fundamental dalam Islam telah merubah beberapa tatanan, sudut pandang serta persepsi terhadap Islam itu sendiri. Upaya memahami latar belakang serta segala hal yang terkait dengan gerakan tersebut akan dibahas dalam pembahasan ini. Namun pemakalah hanya fokus pada pembahasan epistemologi islam bayani.
1.2  Rumusan Masalah
         Sesuai dengan deskripsi singkat dalam latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah dalam makalah ini sebagaimana berikut:
1.      Apa pengertian Epistimologi Bayani?
2.      Apa Sumber pengetahuan Epistimologi Bayani?
3.      Bagaimana metode Epistimologi Bayani?
4.      Bagaimana verifikasi Epistemologi Bayani?

1.3  Tujuan Masalah
         Sesuai dengan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan dalam makalah ini adalah :
1.      Mengetahui pengertian Epistimologi Bayani
2.      Mengetahui sumber pengetahuan Epistimologi Bayani
3.      Mengetahui metode Epistimologi Bayani
4.      Mengetahui verifikasi Epistimologi Bayani





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Epistimologi Bayani
a.      Etimologi
Dalam kamur Munawir, Bayani bermakna al Sharhu (penjelasan), al Faslu (memisah), al idlah (keterangan).[1] Al-Jabiri (1936-2010 M),  berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus  Lisan al Arab karya Ibn Mandzur (1233-1312 M) dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain, memberikan arti bayani al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah), dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhar dalam kaitannya dengan metodelogi, sedangkan infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ru’y) dari metode bayani.[2]

b.      Terminologi
Pengertian Bayani secara terminologi mencakup dua pengertian. Pertama sebagai kaidah-kaidah penafsiran wacana dan kedua sebagai syarat-syarat memproduksi/menghasilkan wacana.
Jadi, Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.[3]

2.2  Sumber Pengetahuan Epistimologi Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis.
a.    Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penetapan hukum, maka sebuah keniscayaan jika di dalamnya masih terdapat teks-teks yang masih bersifat umum, sehingga masih perlu dijelaskan oleh sumber hukum yang lain. Dari segi penunjukan hukumnya (dilālāh al-hukm), nash al-Qur’an dibagi menjadi dua bagian yaitu, qaṭ’i dan ḍanni. Nash yang meunjukkan makna yang dipahami secara tertentu, tidak memerlukan tafsir, takwil atau teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti tersebut. Sedangkan nash yang ḍanni adalah nahs yang memerlukan makna tetapi memungkinkan adanya tafsir, takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.[4]
Berdasar keterangan di atas Imam Syafi’i telah menyumbangkan pemikiran melalui konsep yang ditawarkan yaitu berupa formulasi epistem bayāni yang telah merincinya menjadi lima tingkatan. (1) bayān yang tidak membutuhkan penjelasan, karena sudah dijelaskan oleh Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya. (2) bayān yang sebahagiannya masih samar (mujmal) lalu dijelaskan oleh sunnah. (3) bayān yang semuanya samar, sehingga butuh dijelaskan oleh sunnah. (4) bayān sunnah, sebagai uraian yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. (5) bayān ijtihad, yang diperoleh melalui qiyas, karena penjelasan tidak ada dalam al-Qur’an maupun sunnah.[5] Dari lima derajat bayan tersebut, Al-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang poko’ ada tiga, Al-Qur’an, sunnah, dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.

  1. Sunnah 
Sunnah sebagai sumber hukum kedua dalam menentukan hukum Islam setelah al-Qur’an dan sunnah sekaligus sebagai pengiringnya. Kenyataan sebagaimana terjadi pada al-Qur’an juga terjadi pada sunnah, bahkan jauh lebih luas. Jika al-Qur’an, konsep qaṭ’i dan ḍanni hanya terjadi pada dilālah-nya, dalam sunnah hal itu terjadi pada dilālah-nya dan riwayat. Dari segi dilālah-nya berarti makna teks tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih di takwil. Dari segi riwayat berarti teks hadith tersebut benar-benar berasal dari Nabi atau tidak. Dari aspek ini akan menentukan sah dan tidaknya sebuah hadith untuk dijadikan sebagai ḥujjah dalam penentuan hukum. Berdasarkan pada periwayatan hadith sehingga muncul berbagai kualitas hadith seperti mutawatir, aḥad, ṣahih, gharib, marfu’,  maqtu’, dan seterusnya.[6]
Mengingat bahwa epistem bayāni merupakan bagian awal dari terbentuknya suatu hukum, maka salah atau benarnya dari pada proses dan transmisi teks akan mempengaruhi benar atau salahnya suatu hukum. Dalam pengertian lain, jika transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Sebaliknya jika transmisi teks tidak dapat dipertanggung jawabkan dan masih diragukan, berarti ia tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Jika transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhari, misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademis.
2.      Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal al-Hadits, dan sebagainya.
Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan hukumnya (dilâlah al-hukm), nash al-Qur`an bisa dibagi dua bagian, qath`i dan zhanni. Nash yang qath`i dilâlah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep asy-Syafi`i, ini yang disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang zhanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur`an, konsep qath’i dan zhanni hanya berkaitan dengan dilâlah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada riwayat dan dilâlah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian lahir berbagai macam kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad, shahîhhasan, gharîb, dan sebagainya. Dari segi dilâlah berarti bahwa makna teks hadis tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.

2.3    Metode Epistimologi Bayani
Langkah mendapatkan pengetahuan epistemologi bayāni menggunakan dua cara, yaitu: Pertama, dengan berpedoman pada teks (lafadz) yang dianalisa dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, ṣaraf.[7]  Kedua: menggunakan metode qiyās atau disebut analogi. Dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.
Dalam kajian ushūl fiqh qiyas diartikan sebagai usaha memberikan keputusan suatu hukum tertentu yang hukumnya sudah ada dalam nash dengan mencari kesamaan illat-nya. Ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: (1) adanya al-ashl, yaitu teks yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran. (2) furu’ yaitu suatu hal yang belum ada hukumnya dalam nash syara’. (3) hukm al-ashl, yaitu hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum pada ashl dan yang tujuannya menjadi hukum dasar bagi masalah baru. (4) illat, yaitu alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang berdasarkan adanya illat itu pada masalah baru maka masalah baru itu disamakan dengan masalah asal dalam hukumnya.[8]
Contoh qiyas adalah seperti soal penetapan hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer, khamer adalah ashl (pokok) sebab ia terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan alasan antara arak dan khamer, yaitu sama-sama memabukkan.[9]
Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan ini digunakan dalam tiga aspek. Pertama, qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun far’. Bagian ini mencakup 3 hal:
1.      Qiyas jali, di mana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl,
2.      Qiyas fi ma’na al-nash, di mana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama,
3.      Qiyas al-khafi, di mana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.[10]
Kedua, berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far’, atau yang menunjukkan ke arah itu. Bagian ini meliputi dua hal, yaitu (1) qiyas al-illat, yaitu menetapkan illat yang ada pada ashl kepada far’, (2) qiyas al-dilalah yaitu menetapkan petunjuk yang ada pada ashl kepada far’, bukan illatnya. Yang dimaksud dengan illat, sesungguhnya juga dapat dibagi dalam beberapa tingkat:
1.      Illat yang telah jelas dan diketahui (eksplisit)
2.      Illat yang masih berupa signal-signal (‘alamah) atau (implisit)
3.      Illat yang berupa pengaruh-pengaruh dalam kehidupan[11]
Ketiga, qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far’, yang oleh Al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat:
1.      Adanya perubahan hukum baru
2.      Keserasian
3.      Keserupaan (syibh)
4.      Menjauhkan (thard)
Menurut Abd al-Jabar (935-1025 M), seseorang tokoh teologi Muktazilah, metode qiyas bayani di atas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks, tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkap persoalan-persoalan non-fisik (ghaib). Di sini ada empat cara.
1.      Berdasarkan persamaan petunjuk (dilalah) yang ada (istidlal bi al-syahid ala’ al-ghaib li istirakihima fi al-dilalah). Contoh untuk mengetahui bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kehendak Tuhan (gaib) diqiyaskan pada kondisi empirik manusia (syahid). Hasilnya adalah ketika dalam realitas empirik manusia mempunyai kehendak dan tindakan, berarti Tuhan juga demikian.
2.      Berdasarkan kesamaan illah (istidlal bi al-syahid ala’ al-ghaib li istirakihima fi al-illah). Contoh, Tuhan tidak mungkin berlaku jahat karena pengetahuan-Nya tentang hakekat dan dampak kejahatan tersebut. Ini didasarkan atas kenyataan yang terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak akan berbuat jahat karena mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti Tuhan juga demikian.
3.      Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat illah (istidlal bi al-syahid ala’ al-ghaib li istirakihima fima yajri majra al-illah).
4.      Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat lebih dibanding yang empirik (istidlal bi al-syahid ala’ al-ghaib li kaun al-hukm fi al-ghaib ablagh minh fi al-syahid). Contoh, ketika mengetahui bahwa kita (syahid) harus berlaku baik karena hal tersebut adalah kebaikan, maka apalagi Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa sesuatu adalah baik.[12]
2.4    Verifikasi Epistimologi Bayani
Validitas pengetahuan biasanya diuji berdasarkan salah satu dari tiga uji kebenaran. Pertama, korespondensi, yaitu suatu bentuk uji kebenaran yang menyatakan bahwa validitas pengetahuan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas (fidelity to objective reality). Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta atau kesesuaian antara pertimbangan dan situasi yang dilukiskan oleh pertimabangan tersebut.[13]
Penulis (Ahmad Khozin) mengmabil penjelasan bahwa jika uji kebenaran tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada maka kebenaran tersebut tidaklah dapat dibenarkan. Dalam perkembangannya bayan mempunyai dua arti. Pertama, sebagai aturan-aturan wacana, dan kedua, sebagai syarat-syarat memproduksi wacana.
Kedua, koherensi, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa kebenaran adalah jika suatu pernyataan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya. Pernyataan yang benar adalah pernyataan yang menurut logika koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang relevan. Konsisten dalam kamus besar Indonesia adalah tetap (tidak berubah-ubah), selaras, dan sesuai. Artinya adalah pernyataan itu sesuai dengan pernyataan orang lain tentang sebuah kebenaran. Dengan begitu pernyataan itu tersebut relevan dengan kebenaran yang lain.
Dan ketiga, pragmatik, yaitu sebuah teori verifikasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan  berkaitan dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability), atau memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory results). Menurut Charles S. Pierce (1839-1914 M) dalam bukunya A. Khudori Soleh menyatakan bahwa ujian terbaik untuk kebenaran pengetahuan adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah akibatnya pada tindakan kita dalam hidup? Bagi kaum pragmatis, suatu ide atau pengetahuan dinilai benar jika ia dapat dilakukan atau mendatangkan kemanfaatan.
Verifikasi epistimologi bayani menggunakan korespondensi, yaitu kembali pada sumber atau rujukan (nash). Karena epistimologi bayani menganggap bahwa rasio tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik epistimologi bayani adalah aspek eksoterik.




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Secara etimologi bayan adalah pemisah atau penjelasan, sedangkan secara terminologi bayan mencakup dua pengertian. Pertama sebagai kaidah-kaidah penafsiran wacana dan kedua sebagai syarat-syarat memproduksi/menghasilkan wacana.
2.      Epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam penetapan hokum dan Sunnah sebagai sumber hukum kedua dalam menentukan hokum.
3.      Langkah mendapatkan pengetahuan epistemologi bayāni menggunakan dua cara, yaitu: Pertama, dengan berpedoman pada teks (lafadz) yang dianalisa dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, ṣaraf.[14]  Kedua: menggunakan metode qiyās atau disebut analogi. Dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.
4.      Verifikasi epistimologi bayani menggunakan korespondensi, yaitu kembali pada sumber atau rujukan (nash). Karena epistimologi bayani menganggap bahwa rasio tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.



[1] Kamus Munawir Arab-Indonesia, hlm 103
[2] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kotemporer (Cet. I; Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 237-238
[3] Ibid, hlm. 237.
[4] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Faiz al Muttaqin (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 36-37.
[5] Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. (cet. I; Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1991), hlm., 23.
[6] Ibid., 116.
[7] Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, (Yogyakarta, Belukar, 2004), hlm. 217-219.
[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih., hlm. 77.
[9] A. Khudori Soleh, hlm 248
[10] Ibid, hlm 248-249
[11]Ibid, hlm 249
[12] Ibid, hlm 249-250
[13] A. Khudori Soleh, hlm
[14] Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, (Yogyakarta, Belukar, 2004), hlm. 217-219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar