BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu
saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Karena setiap jenis
pengetahuan mempunyai ciri-cirI yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengethauan terebut
disusun.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi
membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat
strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu
pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan
sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat
ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa
keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu
terjadi, karena Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan
beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi).
Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan
burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Sebuah gerakan yang didasari oleh faham fundamental dalam
Islam telah merubah beberapa tatanan, sudut pandang serta persepsi terhadap
Islam itu sendiri. Upaya memahami latar belakang serta segala hal yang terkait
dengan gerakan tersebut akan dibahas dalam pembahasan ini. Namun pemakalah
hanya fokus pada pembahasan epistemologi islam bayani.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan deskripsi singkat dalam latar belakang di atas, dapat
ditarik beberapa rumusan masalah dalam makalah ini sebagaimana berikut:
1. Apa pengertian Epistimologi Bayani?
2. Apa Sumber pengetahuan Epistimologi Bayani?
3. Bagaimana metode Epistimologi Bayani?
4. Bagaimana verifikasi Epistemologi Bayani?
1.3 Tujuan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan
dalam makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian Epistimologi Bayani
2. Mengetahui sumber pengetahuan Epistimologi
Bayani
3.
Mengetahui metode Epistimologi Bayani
4.
Mengetahui verifikasi Epistimologi Bayani
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Epistimologi
Bayani
a. Etimologi
Dalam kamur Munawir, Bayani bermakna al
Sharhu (penjelasan), al Faslu (memisah), al idlah
(keterangan).[1]
Al-Jabiri (1936-2010 M), berdasarkan
beberapa makna yang diberikan kamus
Lisan al Arab karya Ibn Mandzur (1233-1312 M) dan dianggap sebagai karya
pertama yang belum tercemari pengertian lain, memberikan arti bayani al-fashl
wa infishal (memisahkan dan terpisah), dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas
dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhar dalam kaitannya dengan
metodelogi, sedangkan infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ru’y)
dari metode bayani.[2]
b. Terminologi
Pengertian Bayani secara terminologi mencakup
dua pengertian. Pertama sebagai kaidah-kaidah penafsiran wacana dan kedua
sebagai syarat-syarat memproduksi/menghasilkan wacana.
Jadi, Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.[3]
2.2 Sumber
Pengetahuan Epistimologi Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas
Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang
dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis.
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam penetapan hukum, maka sebuah keniscayaan jika di
dalamnya masih terdapat teks-teks yang masih bersifat umum, sehingga masih
perlu dijelaskan oleh sumber hukum yang lain. Dari segi penunjukan hukumnya (dilālāh
al-hukm), nash al-Qur’an dibagi menjadi dua bagian yaitu, qaṭ’i dan ḍanni.
Nash yang meunjukkan makna yang dipahami secara tertentu, tidak memerlukan
tafsir, takwil atau teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti tersebut.
Sedangkan nash yang ḍanni adalah nahs yang memerlukan makna tetapi
memungkinkan adanya tafsir, takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari makna
asal kepada makna lain.[4]
Berdasar
keterangan di atas Imam Syafi’i telah menyumbangkan pemikiran melalui konsep
yang ditawarkan yaitu berupa formulasi epistem bayāni yang telah
merincinya menjadi lima tingkatan. (1) bayān yang tidak membutuhkan
penjelasan, karena sudah dijelaskan oleh Tuhan dalam al-Qur’an sebagai
ketentuan bagi makhluk-Nya. (2) bayān yang sebahagiannya masih samar
(mujmal) lalu dijelaskan oleh sunnah. (3) bayān yang semuanya samar,
sehingga butuh dijelaskan oleh sunnah. (4) bayān sunnah, sebagai uraian
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. (5) bayān ijtihad, yang diperoleh
melalui qiyas, karena penjelasan tidak ada dalam al-Qur’an maupun sunnah.[5] Dari lima derajat bayan
tersebut, Al-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang poko’ ada tiga, Al-Qur’an,
sunnah, dan qiyas, kemudian ditambah ijma’.
- Sunnah
Sunnah
sebagai sumber hukum kedua dalam menentukan hukum Islam setelah al-Qur’an dan
sunnah sekaligus sebagai pengiringnya. Kenyataan sebagaimana terjadi pada
al-Qur’an juga terjadi pada sunnah, bahkan jauh lebih luas. Jika al-Qur’an,
konsep qaṭ’i dan ḍanni hanya terjadi pada dilālah-nya,
dalam sunnah hal itu terjadi pada dilālah-nya dan riwayat. Dari segi dilālah-nya
berarti makna teks tersebut telah memberikan makna yang pasti atau masih di
takwil. Dari segi riwayat berarti teks hadith tersebut benar-benar berasal dari
Nabi atau tidak. Dari aspek ini akan menentukan sah dan tidaknya sebuah hadith
untuk dijadikan sebagai ḥujjah dalam penentuan hukum. Berdasarkan pada
periwayatan hadith sehingga muncul berbagai kualitas hadith seperti mutawatir,
aḥad, ṣahih, gharib, marfu’, maqtu’, dan seterusnya.[6]
Mengingat
bahwa epistem bayāni merupakan bagian awal dari terbentuknya suatu
hukum, maka salah atau benarnya dari pada proses dan transmisi teks akan
mempengaruhi benar atau salahnya suatu hukum. Dalam pengertian lain, jika
transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar hukum. Sebaliknya jika transmisi teks tidak dapat
dipertanggung jawabkan dan masih diragukan, berarti ia tidak bisa dijadikan
sebagai landasan hukum.
Jika transmisi
teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan
dasar hukum. Sebaliknya,
jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung
jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu
pula, mengapa pada masa tadwîn (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para
ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhari,
misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis
adalah sebagai berikut :
1. Bahwa perawi
harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,
keilmuan dan standar akademis.
2. Harus ada
informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu
muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi
tersebut kemudian lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan
keaslian teks, seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal
al-Hadits, dan sebagainya.
Selanjutnya, tentang nash al-Qur`an, meski sebagai sumber utama,
tetapi ia tidak selalu memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukkan
hukumnya (dilâlah al-hukm), nash al-Qur`an bisa dibagi dua
bagian, qath`i dan zhanni. Nash
yang qath`i dilâlah adalah nash-nash yang menunjukkan
adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman tertentu, atau nash yang
tidak mungkin menerima tafsir dan takwil, atau sebuah teks yang tidak mempunyai
arti lain kecuali arti yang satu itu. Dalam konsep asy-Syafi`i, ini yang
disebut Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut. Nash yang zhanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan
atas makna tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau dirubah dari makna
asalnya menjadi makna yang lain.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada al-sunnah, bahkan lebih luas.
Jika dalam al-Qur`an, konsep qath’i dan zhanni hanya berkaitan dengan dilâlah-nya, dalam sunnah hal itu berlaku pada riwayat
dan dilâlah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa teks hadis
tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahwa aspek ini akan
menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadis, yang dari sana kemudian
lahir berbagai macam kualitas hadis, sepertimutawatir, ahad, shahîh, hasan,
gharîb, dan sebagainya. Dari segi dilâlah berarti bahwa makna teks hadis tersebut
telah memberikan makna yang pasti atau masih bisa ditakwil.
2.3 Metode Epistimologi
Bayani
Langkah mendapatkan pengetahuan epistemologi bayāni menggunakan dua
cara, yaitu: Pertama, dengan berpedoman pada teks (lafadz) yang
dianalisa dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, ṣaraf.[7]
Kedua: menggunakan metode qiyās atau disebut
analogi. Dan inilah prinsip utama
epistimologi bayani.
Dalam kajian ushūl fiqh qiyas diartikan sebagai usaha
memberikan keputusan suatu hukum tertentu yang hukumnya sudah ada dalam nash
dengan mencari kesamaan illat-nya. Ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan
qiyas: (1) adanya al-ashl, yaitu teks yang memberikan hukum dan dipakai
sebagai ukuran. (2) furu’ yaitu suatu hal yang belum ada hukumnya dalam
nash syara’. (3) hukm al-ashl, yaitu hukum yang disebutkan
sendiri oleh pembuat hukum pada ashl dan yang tujuannya menjadi hukum
dasar bagi masalah baru.
(4) illat, yaitu alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal, yang
berdasarkan adanya illat itu pada masalah baru maka masalah baru itu
disamakan dengan masalah asal dalam hukumnya.[8]
Contoh qiyas adalah seperti soal penetapan hukum meminum
arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang) karena tidak ada
ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer, khamer
adalah ashl (pokok) sebab ia terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram,
alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada
persamaan alasan antara arak dan khamer, yaitu sama-sama memabukkan.[9]
Menurut Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara untuk
mendapatkan pengetahuan ini digunakan dalam tiga aspek. Pertama, qiyas dalam
kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun far’.
Bagian ini mencakup 3 hal:
1.
Qiyas jali, di mana far’ mempunyai persoalan hukum yang
kuat dibanding ashl,
2.
Qiyas fi ma’na al-nash, di mana ashl dan far’ mempunyai
derajat hukum yang sama,
3.
Qiyas al-khafi, di mana illat ashl tidak diketahui secara
jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid.[10]
Kedua, berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan
far’, atau yang menunjukkan ke arah itu. Bagian ini meliputi dua hal, yaitu (1)
qiyas al-illat, yaitu menetapkan illat yang ada pada ashl kepada far’, (2)
qiyas al-dilalah yaitu menetapkan petunjuk yang ada pada ashl kepada far’,
bukan illatnya. Yang dimaksud dengan illat, sesungguhnya juga dapat dibagi
dalam beberapa tingkat:
1.
Illat yang telah jelas dan diketahui (eksplisit)
2.
Illat yang masih berupa signal-signal (‘alamah) atau
(implisit)
3.
Illat yang berupa pengaruh-pengaruh dalam kehidupan[11]
Ketiga, qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan
untuk menyatukan antara ashl dan far’, yang oleh Al-Ghazali dibagi dalam empat
tingkat:
1.
Adanya perubahan hukum baru
2.
Keserasian
3.
Keserupaan (syibh)
4.
Menjauhkan (thard)
Menurut Abd al-Jabar (935-1025 M), seseorang tokoh
teologi Muktazilah, metode qiyas bayani di atas tidak hanya untuk menggali
pengetahuan dari teks, tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk
mengungkap persoalan-persoalan non-fisik (ghaib). Di sini ada empat cara.
1.
Berdasarkan persamaan petunjuk (dilalah) yang ada (istidlal
bi al-syahid ala’ al-ghaib li istirakihima fi al-dilalah). Contoh untuk
mengetahui bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Kehendak Tuhan (gaib) diqiyaskan pada
kondisi empirik manusia (syahid). Hasilnya adalah ketika dalam realitas empirik
manusia mempunyai kehendak dan tindakan, berarti Tuhan juga demikian.
2.
Berdasarkan kesamaan illah (istidlal bi al-syahid ala’
al-ghaib li istirakihima fi al-illah). Contoh, Tuhan tidak mungkin berlaku
jahat karena pengetahuan-Nya tentang hakekat dan dampak kejahatan tersebut. Ini
didasarkan atas kenyataan yang terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak
akan berbuat jahat karena mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti
Tuhan juga demikian.
3.
Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat illah (istidlal
bi al-syahid ala’ al-ghaib li istirakihima fima yajri majra al-illah).
4.
Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat
lebih dibanding yang empirik (istidlal bi al-syahid ala’ al-ghaib li kaun
al-hukm fi al-ghaib ablagh minh fi al-syahid). Contoh, ketika mengetahui
bahwa kita (syahid) harus berlaku baik karena hal tersebut adalah kebaikan,
maka apalagi Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa sesuatu adalah baik.[12]
2.4 Verifikasi
Epistimologi Bayani
Validitas pengetahuan biasanya diuji
berdasarkan salah satu dari tiga uji kebenaran. Pertama, korespondensi, yaitu
suatu bentuk uji kebenaran yang menyatakan bahwa validitas pengetahuan
ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas (fidelity to objective reality).
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta atau
kesesuaian antara pertimbangan dan situasi yang dilukiskan oleh pertimabangan
tersebut.[13]
Penulis (Ahmad Khozin) mengmabil penjelasan
bahwa jika uji kebenaran tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita
yang ada maka kebenaran tersebut tidaklah dapat dibenarkan. Dalam
perkembangannya bayan mempunyai dua arti. Pertama, sebagai aturan-aturan
wacana, dan kedua, sebagai syarat-syarat memproduksi wacana.
Kedua, koherensi, yaitu sebuah teori yang
menyatakan bahwa kebenaran adalah jika suatu pernyataan konsisten dengan
pernyataan-pernyataan lain yang telah diterima kebenarannya. Pernyataan yang
benar adalah pernyataan yang menurut logika koheren dan konsisten dengan
pernyataan-pernyataan lain yang relevan. Konsisten dalam kamus besar Indonesia
adalah tetap (tidak berubah-ubah), selaras, dan sesuai. Artinya adalah
pernyataan itu sesuai dengan pernyataan orang lain tentang sebuah kebenaran.
Dengan begitu pernyataan itu tersebut relevan dengan kebenaran yang lain.
Dan ketiga, pragmatik, yaitu sebuah teori
verifikasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan berkaitan dengan kemanfaatan (utility),
kemungkinan dikerjakan (workability), atau memberikan akibat yang memuaskan
(satisfactory results). Menurut Charles S. Pierce (1839-1914 M) dalam bukunya
A. Khudori Soleh menyatakan bahwa ujian terbaik untuk kebenaran pengetahuan
adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah akibatnya pada tindakan kita dalam
hidup? Bagi kaum pragmatis, suatu ide atau pengetahuan dinilai benar jika ia
dapat dilakukan atau mendatangkan kemanfaatan.
Verifikasi epistimologi bayani menggunakan korespondensi,
yaitu kembali pada sumber atau rujukan (nash). Karena epistimologi bayani
menganggap bahwa rasio tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik epistimologi bayani adalah
aspek eksoterik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Secara etimologi bayan adalah pemisah atau penjelasan,
sedangkan secara terminologi bayan mencakup dua pengertian. Pertama sebagai
kaidah-kaidah penafsiran wacana dan kedua sebagai syarat-syarat
memproduksi/menghasilkan wacana.
2.
Epistemologi
bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber
pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan hadis. Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam penetapan hokum dan Sunnah
sebagai sumber hukum kedua dalam menentukan hokum.
3. Langkah mendapatkan pengetahuan
epistemologi bayāni menggunakan dua cara, yaitu: Pertama, dengan
berpedoman pada teks (lafadz) yang dianalisa dengan menggunakan
kaidah-kaidah bahasa Arab seperti nahwu, ṣaraf.[14]
Kedua: menggunakan metode qiyās atau disebut
analogi. Dan inilah prinsip utama
epistimologi bayani.
4.
Verifikasi epistimologi bayani menggunakan korespondensi,
yaitu kembali pada sumber atau rujukan (nash). Karena epistimologi bayani
menganggap bahwa rasio tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks.
[1] Kamus
Munawir Arab-Indonesia, hlm 103
[2] A.
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kotemporer (Cet. I;
Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013), hlm. 237-238
[3]
Ibid, hlm. 237.
[4]
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj. Faiz al Muttaqin (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 36-37.
[5]
Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. (cet. I; Beirut: Markaz
Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1991), hlm., 23.
[6]
Ibid., 116.
[8]
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih., hlm. 77.
[9] A.
Khudori Soleh, hlm 248
[10]
Ibid, hlm 248-249
[11]Ibid,
hlm 249
[12]
Ibid, hlm 249-250
[13]
A. Khudori Soleh, hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar